0wo71p5M3MBGMPs3gA9-3U_3V9k Preman Mudaku pun Merangkulmu | http://syahrial-siregar.blogspot.com/

Rabu, 02 Mei 2012

Preman Mudaku pun Merangkulmu


Bismillah…
Kelas kini, gelap temaram di sebuah awal malam pertengahan Ramadhan.  Ketika di sini, seluruh siswa kelas dua SMP ini, mengawali dengan istighfar dan mulai menundukkan mata.
“Adik-adikku…,” Perlahan, mengajak mereka membayang rasa yang pasti ada, “Bayangkanlah, ketika kita pulang, ada begitu banyak tetangga, saudara serta handau taulan yang berkumpul di sana.  Semua berwajah muram, bersedih memandang wajah kita yang baru saja tiba.  Ada yang mengelus kepala kita penuh haru, untuk kemudian tak kuasa menahan genang air mata.  Kita pun terheran.  Ada apa?  Kenapa berkumpul di rumah kita?”, sejenak nafas pun mulai mendera.  Tak ada yang bersuara.  “Kita pun sampai di sana.  Di hadapan kita, kini terbaring sesosok raga. Ia nampak begitu tenang, dalam balutan kain putih bersih, tanpa corak, tanpa lain warna.  Sosok, yang ternyata sudah begitu sangat kita kenal. Ia lah sosok yang tiap hari kita pandang, ia lah sosok yang tiap pagi menyiapkan sarapan, sosok yang selalu menyempatkan mengantar kita dengan pandang kasih sayang, dan menyambut kita pulang dengan gelora cinta tiada tara.  Yang melalui rahimnya lah, kita pun bertandang di jagat dunia.”, sejenak tersenyap, mencoba menahan rasa.  “Adik-adikku, ternyata sosok yang kini terbujur itu, tiada lain adalah…. ibu kita!”, ucap itu terlemas.
Suara isak tangis pun tiba-tiba menderas mengangkasa, air mata membasah merata di setiap sudut mata.  “Ia telah tenang kini, karena tak akan ada lagi hardikan dari mulut-mulut kita.  Ia pun telah tenang kini, karena tak perlu lagi melihat delik sinis mata kita.  Ia pun telah tenang kini, karena tak perlu lagi terobek rasa sebab perlakuan dan kata kasar kita.”, ucap itu meninggi, sejenak mengambil nafas, berat.  Bayang ibu pun, seakan ada di pelupuk mata.
 “Kini, wajan-wajan itu hanya mampu membisu.  Karena tiada lagi tangan cekatan yang menggunakannya, untuk menggoreng nasi serta telur untuk kita.  Kini, tak ada lagi tatap mesranya, yang mengantarkan kita menuntut ilmu.  Tak ada lagi yang menyambut sayang ketika kita pulang.  Yang ada hanyalah rumah yang sepi.  Tak ada lagi yang menyuruh kita membereskan baju seragam yang tercecer di meja. Tak ada lagi yang memakai daster yang kini hanya tergantung di almari.  Yang ada hanyalah hampa.  Yang ada hanyalah duka yang meraja.  Karena kini adik-adikku, karena kini ibu telah tiada.”
Sebuah ratap isak seorang anak merambat di udara, “Maafin saya, Ibuuu…. Jangan panggil dulu ibu, ya Alloh… Saya mohooonnn… Saya mohoooonnnn….”, suara itu begitu memelas, menyayat hati yang kini sedang terlarut sesal dan rindu mengangkasa.  Beri kesempatan kami berbakti, walau sekedar memeluknya sekali lagi.
 “Namun adik-adikku, kini, ternyata ibu kita masih ada.”, ucap itu melandai, namun isak tangis itu, terus saja mengudara.  Memanggil ibu mereka, dengan segenap pilu mengharu biru.  Memohon maaf atas sesal yang ada.  “Ia masih memandang kita dengan mesra, dengan lautan kasih sayang yang terus saja sempurna.”
 “Kini, ketika ibu kita masih ada, berjanjilah adikku. Ketika kalian kembali bertatap dengan ibunda, peluklah ia dengan sepenuh rasa.  Cium syahdu punggung tangan mereka.  Katakan padanya dengan cinta, ‘Bu, aku menyayangimu. Aku kan terus mencintaimu.  Aku akan menjadi anak yang akan menerbitkan bangga di lubuk hatimu.’  Peluklah ia, dekap ia.  Elus lembut pipi yang kini telah mulai mengerut dimakan usia.  Hidupkan kembali asa yang mungkin saja telah meredup perlu cahaya.”, isak tangis itu tak kunjung reda.  Dalam tunduk, mereka menyeka isak dan air mata, dengan tubuh yang masih saja terguncang.  Mencoba mengumpulkan kembali asa, ibu masih ada.  Mematrikan sebuah janji yang menjadi asa bersama.  Ibu, kami mencintaimu, selamanya.
“Berjanjilah adikku…”, sebuah kata yang pertama tertuju pada diri sesungguh hati.
Ibu, tangis ini adalah rasa rindu kami.  Karena semua derai ini bermuara pada sejati dan tulusnya cintamu.
*****
Di akhir acara pesantren kilat malam itu, kulihat begitu banyak mereka yang merangkul ibu dengan haru.  Sang ibu nampak tak tahu, ada apa dengan anakku?  Namun tak urung, mereka pun memeluk sang anak dengan tubuh terguncang dalam iring derai air mata.  Bahkan kau, preman mudaku, kupandang merangkul ibumu yang terheran meragu.  Ada apa dengan putraku?
*****
Sepenggal kisah bersama kalian, siswa SMP Pembangunan Satu(PeSat) Bogor.  Aku rindu bertemu.  Yang kini kulantunkan dalam setiap senarai doa yang tak kan pernah mereda.  Melingkar di teras masjid sekolah kita tercinta.
(Struktur muhasabah diambil dari renungan Aa Gym ketika mengisi sebuah pengajian siswa di suatu ketika)

sumber:http://tantodikdik.multiply.com

0 komentar:

Posting Komentar

di harapkan komentar para pembaca....

syahrial_siregar@yahoo.co.id. Diberdayakan oleh Blogger.

http:syahrialsiregar.blogspot.com/

http://syahrialdankeluarga.blogspot.com/

syahrial

siregar