0wo71p5M3MBGMPs3gA9-3U_3V9k Indonesia Yang Tak kan Pernah Hamil | http://syahrial-siregar.blogspot.com/

Rabu, 02 Mei 2012

Indonesia Yang Tak kan Pernah Hamil


Bismillah…
“Kalau sudah besar, ingin jadi apa?”, tanya seorang guru TK kepada anak-anak didiknya dengan senyum semangat.  Maka bersahutanlah suara lantang anak-anak menjawab pertanyaan sang guru cantik berjilbab biru muda itu.  Mengacungkan tangan, berharap dapat giliran pertama menyatakan cita dan harapannya kelak.
“Ingin jadi pilot!”
“Dokter!”
“Direktur!”
“Pengen jadi arsitek seperti ayahku!”
“Bu Guru, Nanda pengan jadi artis dan juga main di film.”
“Jadi presiden, dong!”
“Ga boleh!  Itu kan cita-citaku!”, gaduh.
Semangat.  Optimis.  Itu yang kita tangkap dari pengungkapan cita-cita dari bocah berusia TK ini.  Saya dapati, mayoritas anak seusia mereka memiliki apa yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang secara usia dibilang sudah dewasa ini.  Namun ternyata, ironis.  Justru di saat inilah, semangat dan optimisme itu lambat atau pun cepat, menguap pasti.  Hilang untuk kemudian tak mau mencarinya kembali.  Didera dengan apa yang dibilang sebuah realita.
Seorang teman pernah meminta mengisikan wawancara tertulis yang didapatnya dari sebuah perusahaan di mana dia melamar sebuah posisi di sana.  Dia mengaku bahwa dia paling tidak bisa mengisi soal-soal seperti itu.  Soal tentang, targetan apa yang hendak anda capai dalam 1 bulan, 1 tahun, 5 tahun dan 10 tahun ke depan.  Dan ternyata, ketika saya tanya ke diri dan juga ke banyak teman, mayoritas tak tahu apa sebenarnya yang ingin diraihnya dalam jangka waktu ke depan.  Saya sendiri pun bingung.  Jangankan 10 tahun mendatang, 1 bulan ke depan pun tak pernah terbayang, karena memang tidak pernah dibayangkan.  Dan pertanyaan ini pun, semestinya mampu mengantarkan kita untuk kembali memikirkan bagaimana gambaran kita terhadap hidup kita ke depan.  Sebuah maket kehidupan, yang akan kita bangun di masa-masa yang sedang dan akan kita dapati kelak.  Yang mau tak mau, di ranah ini kita mesti mengandalkan imajinasi, yang berfondasi pada apa sesungguhnya keinginan terdalam kita dalam hidup ini.  Maka di sinilah, para pahlawan, pengusaha sukses, pemimpin brilian dan siapa pun orang hebat, memberikan tauladannya untuk kita.  Bahwa sebuah visi dalam hidup adalah sebuah keharusan.  Visi yang dimanifestasi dalam imajinasi yang nyata dan teliti.  Inilah yang akan kita dapati jika kita baca biografi Bill Gates atau Ciputra. Begitu pula dengan John F. Kennedy dan Soekarno.  Kita dapati bahwa mereka sudah sangat tahu apa yang akan didapatnya di masa yang akan datang, dengan sangat jelas.  Mereka telah membangun masa depannya dalam sebuah imajinasi, dalam benak khayalnya.  Untuk kemudian ternyata mengada.  Dan tertulis pula sebuah cerita dari Ary Ginanjar, sebuah fragmen ketika Disney World pertama kali dibuka.  Ketika itu Nyonya Walt Disney diminta berbicara(dan Walt Disney sudah meninggal ketika itu), dan ditanya. “Seandainya Walt Disney bisa melihat ini(pembukaan Disney World-red),….”, yang langsung dipotong oleh Nyonya Walt Disney dengan perkataan, “Dia sudah melihatnya.”  Ya, Walt Disney sudah melihat dari jauh hari pembukaan Disney World ini, dalam benaknya.  Dalam imajinasi yang telah menjadi visinya.
Dan kita pun tentu diingatkan pula lewat siroh nabawiyah pada sebuah peristiwa di zaman Rosululloh dulu.  Ketika perang ahzab/khondak sedang dipersiapkan kaum muslimin.  Tatkala penggalian parit(khondak) didapati sebuah batu besar yang tak bisa digali, maka dengan tangannya sendiri, Rosululloh saw. membelah batu itu untuk kemudian terpancarlah cahaya yang menunjukkan masa depan dari kerajaan-kerajaan Persia dan Romawi.  Bahwa keduanya akan tunduk patuh dalam kekuasaan Islam.  Dan inilah visi kenabian.  Yang terwujud bahkan setelah beratus tahun kemudian.  Sebuah visi kecil jika dibandingkan visi Rosululloh yang sangat jauh menembus alam sekedar dunia ini. Rosululloh saw. telah bervisi jauh ke akhirat sana.
Lantas, oh lantas apa visi kita?
Jangan alergi dengan apa yang disebut mimpi dan khayal. Toh, Alloh pun ‘mengiming-imingi’ impian surga untuk hamba-Nya. Asalkan jangan sekedar berangan-angan.
“Yang jelas, Anda mau belajar menjadi ‘pengkhayal ulung’, barangkali Anda telah memiliki sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan.” , begitu sepenggal kalimat Anis Matta dalam majalah Tarbawi edisi 30 Juni 2001.
Dan jika bermimpi saja tak mampu, maka telah terlewatlah apa yang disebut menanam benih.  Hingga kemudian, rahim pun tak kan mampu melahirkan keberhasilan dan kesuksesan.  Dan ternyata, begitu banyak kita yang sekedar bermimpi saja terlalu takut. Dan kalau pun bermimpi hanyalah hal-hal cetek semata.  Lantas masa depan seperti apa yang akan kita dapati jika seperti ini?  Jika mayoritas warga Indonesia seperti ini, maka ucapkanlah : Inilah Indonesiaku yang tak kan pernah hamil.  Karena menanam benih(berimajinasi visi) pun tak mampu.
*****
Sebuah tulisan yang akan selalu saya jadikan pengingat saya dengan sangat.  “Benihi benak dan hatimu dengan visi yang berarti.  Jelas, rinci.  Mulailah berimajinasi!”

sumber:http://tantodikdik.multiply.com

0 komentar:

Posting Komentar

di harapkan komentar para pembaca....

syahrial_siregar@yahoo.co.id. Diberdayakan oleh Blogger.

http:syahrialsiregar.blogspot.com/

http://syahrialdankeluarga.blogspot.com/

syahrial

siregar