Bismillah…
“Ih, tuh ustadz gagah banget, ya!? Jenggotnya itu loch.”
“Ane pengen jenggot sama kumis nyambung kayak ente. Gimana caranya, ya?”
“Cukur dikit lah tuh jenggot. Udah kepanjangan. Ga enak diliatnya.”
“Kayaknya kalau jenggotnya ditipisin dikit, lebih bagus, ya Bro?”
“Eh, bagusan jenggot ane dipelihara atau dicukur aja, ya?”
Akhir-akhir ini, sering saya mendengar pertanyaan atau pernyataan seperti di atas itu. Ya, semua menyangkut tentang sebuah ‘akseseoris’ eksklusif bagi para lelaki dewasa. Jenggot. Ada yang aneh dengan semua pertanyaan dan pernyataan di atas? Secara sekilas, sih, tidak. Tapi jika kita coba rasa-rasakan, ternyata di balik semua itu ada yang berubah. Ternyata
ada yang berbeda, jika hal ini dibandingkan dengan beberapa dekade
dakwah ke belakang, atau dengan harokah yang melarang mencukur jenggot
secara nyata. Apa itu? Saya fikir, sekarang ini ada indikasi sebuah pergeseran orientasi berjenggot di kalangan para aktivis dakwah. Disorientasi jenggot. Saya
sebut sebagai sebuah ‘dis’ atau ‘pergeseran’, semata sebagai
penggambaran kekhawatiran saya saja akan terjadinya pergeseran itu
sendiri. Yang tentunya belum pasti ada.
Jikalau
kita membuka-buka kembali lembaran perjalanan dakwah Nabi dan para
shalafush shalih hingga ke para masyayikh terdahulu, tak ditemukan ada
alasan lain memeliharan jenggot melainkan karena melandaskannya pada
dalil. Misalkan dalil ini :
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Dari Nabi saw., beliau bersabda: Potonglah kumis dan panjangkanlah jenggot. (Shahih Muslim No.380)
Atau
hadits lain yang menyatakan bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis
adalah sebuah kefitrahan atau sebuah bentuk penyelisihan terhadap
orang-orang kafir(tidak tasyabbuh).
Maka, terlepas dari rasa pantas atau tidaknya, mereka dengan begitu semangat dan penuh kesadaran, memelihara jenggot di dagunya. Tak peduli dikatakan kagak keren, teroris, kambing atau lain sebagainya. Bahkan ada sebuah kesedihan tertentu ketika Allah tak menakdirkan tumbuh bulu(atau rambut, ya?) di dagunya itu. Kesedihan
yang disebabkan bukan oleh jadi kurang gagahnya penampilan, melainkan
karena telah terlewatnya satu kesempatan melakukan sebuah sunnah, yang
bahkan terlalu sangat mudah.
Lantas, mari kita coba sedikit bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang ini. Dan untuk itu, saya menyodorkan gambaran dengan perwakilan kalimat pertanyaan dan pernyataan di awal tulisan ini. Benarkah berjenggotnya para da’i sekarang ini, masih mengingat karena ini adalah sebuah sunnah? Masih itukah orientasi utamanya? Saya sangat berharap, iya. Tapi izinkan saya menjelaskan sebuah kekhawatiran saya yang bertolak belakang dengan harapan saya ini. Sebuah kekhawatiran yang mungkin anda pun punya.
Mode. Ya, mode. Saya
seringkali menangkap kesan bahwa berjenggotnya para da’i pun, telah
terintervensi oleh apa yang dinamakan mode atau fashion atau trend atau
setidaknya rasa kepantasan. Dengan mencukur sedemikian rupa kumis dan
jenggot, saya sedikit merasa tergiring untuk menyimpulkan bahwa niatan
syar’i keberadaan jenggot sekarang ini mulai tersaingi oleh sebuah nilai
kepantasan dan kegagahan. Ya memang, pasti masih
ada keluar dalil kenapa mesti berjenggot dan mencukur kumis ketika
ditanya kenapa melakukan hal ini, “Ini sunnah”. Tapi adakah juga di
lubuk hati terdalam sebuah perasaan merasa keren dengan adanya jenggot
ini? Yang atau bahkan ketika dengan adanya jenggot malah merasa akan mengurangi kegantengan, akan dengan ringan tangan mencukurnya? Wah
wah wah… jika sudah seperti ini yang terjadi, saya sangat berani
mengatakan “Bukan lagi orientasi syar’i yang ada di puncak niatan.” Melainkan sudah fashion atau mode atau apalah nama lainnya.
Nah, pertanyaannya kemudian, apakah salah memperpantas jenggot dengan menata dan merapikannya? Tentu saja tidak. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu. Sekali lagi saya katakan, ini adalah sebuah bentuk kekhawatiran saja. Dan kalau pun saya terkesan menyimpulkan bahwa da’i yang merapikan,
menipiskan atau membentuk jenggotnya karena mengikuti rasa kepantasan
atau mode, itu tak lebih dari sebuah rasa kekhawatiran saja. Karena
secara lahiriah, penampakan orang yang meniatkan sebagai penunaian
sunnah atau yang sekedar mode, boleh jadi akan sangat sama. Karena niat adanya di hati dan yang berhak menilai niat hanyalah yang Maha Mengetahui isi hati, yaitu Allah swt. Namun ketika sudah sampai pada mencukur habis jenggot, saya merasa wajib bertanya, “Masihkah ada niatan sunnah di hatinya?”
Wallahu a’lam bishshawab.
*****
Sebuah tulisan yang sebenarnya sedang menasehati diri saya pribadi. Heheh… :-)
0 komentar:
Posting Komentar
di harapkan komentar para pembaca....