0wo71p5M3MBGMPs3gA9-3U_3V9k Biasa Padahal Luar Biasa | http://syahrial-siregar.blogspot.com/

Rabu, 02 Mei 2012

Biasa Padahal Luar Biasa


Bismillah….
Kalo dipikir-pikir, emang bener apa yang dibilang sama ustadz kemarin sore.
“Buat apa jauh-jauh ke pantai, gunung atau tempat wisata alam kalau cuman buat tadabbur alam.”, begitu katanya, “Udah aja ngejogrog di lapangan bola depan, terus tadabburi yang ada di
sana.  Liat rumput, tadabburi.  Rasakan udara yang masuk keluar dari hidung, lalu tadabburi.  Liat matahari, tadabburi.  Liat perempuan cantik, tundukkan pandangan!”  Wah, aku agak-agak kecewa dengan kesimpulan dari perumpamaan terakhir itu.  He he…  enggak deng… mmm dikit deh… he he… Astaghfirullah…
Ketika itu, sore ditemani sinar mentari yang sangat cerah, sang Ustadz kebetulan sedang ada di rumahnya.  Sangat sibuk biasanya, keluar
kota mengurusi sebuah bisnisnya yang sekarang sedang sangat pesat berkembang.  Kemarin-kemarin dihubungi, katanya lagi di Malang, pindah lagi ke Surabaya, besoknya lagi ke Bali.  Tahu-tahu lagi, sudah di Makkah, mengantar jemaah haji dari Bogor.  Weuh, jalan-jalan terussss…  nggak ngajak-ngajak, lagi.  He he becanda, Stadz.  Tapi kalo mo ngajak, juga ngga apa-apa, sih.  Asal gratisssss!
“Iya juga sih, Stadz.”, jawabku manggut-manggut sembari mengelus-elus  jenggot tipisku itu.  Sok ngerti dan bijak.  Yang tidak lama, aku menghentikan kegiatan mengelus-elus jenggot itu, karena jenggotku malah pada rontok.  “Tapi kalo nggak ke tempat wisata gitu, kayak bukan tadabbur, Stadz.”, lanjutku berargumen yang sebenernya asli tanpa dasar.  Karena emang niatnya selain mo tadabbur, pengen renang juga di pantai. 
Kan jarang-jarang…
Beberapa pekan ke depan, rencananya, kami, tim dakwah sebuah organisasi akan melakukan rihlah+tadabbur alam yang bertemakan “Dengan tadabbur alam, kita tingkatkan iman dan takwa.”  Standar banget, ya?  Hah, itu nggak penting, yang penting jalan-jalan ama renangnya itu. He he…  Emangnya bisa renang?  Belum bisa sih, tapi
kan kalo dipoto di pantai sambil pura-pura sedang berenang dalam laut di kedalaman yang nau’udzubillah dalamnya, jadi keren banget githu loh..!  Dan poto itu bisa jadi penambah kekerenan diriku kalo nanti diizinkan ta’aruf dengan sang pujaan tambatan hati.  “Wah, Aa keren sekali!!!  Renangnya pasti jago!”, begitu kira-kira reaksi calonku yang begitu kagum karena melihat aku berenang dalam samudera yang begitu dalam.  Yang nantinya kekaguman itu akan berubah menjadi kekaguman yang super keren dari si dia itu, karena jadi tahu aku selalu saja bisa berenang dengan satu gaya untuk segala kondisi air, yaitu gaya batu.  “Wah, nggak bakalan ada atlet renang yang kayak Aa seperti ini.”, kataku dengan dada membusung.  Bukannya sombong, tapi karena terlalu banyak air empang yang terminum ketika memperagakan renang gaya batu itu.
“Coba antum fikirkan, kenapa kok kita mesti  jauh-jauh ke mana gitu, untuk sekedar tadabbur?”, tanya sang Ustadz.  Aku berfikir sejenak.  Atau lebih tepatnya, pura-pura berfikir sejenak.  Asli, masih bingung?  Tapi tak urung aku jawab juga pertanyaan itu.
“Karena untuk tadabbur, perlu sesuatu yang luar biasa menggugah?”, jawabku dalam bentuk kalimat tanya, karena tak yakin banget dengan jawabanku.
“Ya, betul sekali itu.”, sang Ustadz mengacungkan jempol tangannya, dua-duanya.  Kalo ngga aku cegah, sepertinya Ustadz mau ngangkat dua jempot kakinya juga biar afdhol.  Tapi demi menjaga kebersihan udara dari bau-bauan yang bisa mengganggu kenyamanan bincang-bincang kami, maka aku buru-buru mencegahnya.  Busyet, mendapat pujian seperti itu, aku seneng banget.  Weuh, jawabanku BENAR, Saudara-Saudara!  Itu jawaban dari diriku yang pura-pura berfikir, gimana kalo bener-bener berfikir, ya?  Weuh, bisa gempar dunia persilatan…
“Dan kebanyakan bagi kita, sesuatu yang benar-benar luar biasa menggugah itu, adalah sesuatu yang jarang, atau bahkan tidak pernah dilihat, dirasakan dan didengar.  Makanya kita memerlukan perjalanan jauh ke tempat yang jarang atau bahkan belum pernah kita kunjungi.”, sang Ustadz sejenak berhenti, lalu menyeruput air beningnya di gelas besar yang tinggal setengah itu.  Glek glek glek.  “Tapi ana pengen tanya sama antum.  Rumput yang di depan
sana, menurut antum sesuatu yang luar biasa, bukan?  Capung yang di sana beterbangan, sesuatu yang luar biasa, bukan?  Jenggot antum itu, sesuatu yang luar biasa, bukan?”  wah, Ustadz ini kok menjadikan jenggotku jadi perumpamaan.  Apa bukan menyinggung karena jeggotku suka pada rontok?  He he… becanda lagi, Stadz…
“Luar biasa.”, kini aku tak perlu berfikir lama-lama.  Karena aku yakin pasti jawabannya itu.  Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan tipe-tipe ujian PPKN dulu.  Yang walaupun katanya paling gampang, bahkan konon ngga perlu belajar, tapi ternyata tetep aja nilaiku cuman seuprit.
“Betul sekali, luar biasa.  Tapi kenapa kita seringkali menilai itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja?”, aku kembali mau pura-pura berfikir.  Namun tak jadi.  Karena sang Ustadz langsung saja melanjutkan perkataannya.  “Karena kita sudah merasa sangat sering melihatnya, mendengarnya, hingga semua itu terasa menjadi biasa saja.  Hingga makna yang terkandung dalam sesuatu yang kita anggap biasa itu, seakan sirna.  Padahal itu fikiran yang sangat salah.  Sangat sangat keliru.” Seru sang Ustadz semangat sekali.  “Padahal, subhanallah, di
sana ada kebesaran Allah yang tak ada satu makhluk pun yang akan mampu menandinginya.  Tak ada satu pun.  Bahkan menciptakan nyamuk pun, kalaupun seluruh penduduk jagad raya ini bersatu untuk saling bahu membahu menciptakan seekor nyamuk, niscaya tidak akan pernah bisa.  Walau pun seluruh makhluk sejak dari nabi Adam hingga hari akhir dikumpulkan, disatukan ilmunya, tentu tidak akan pernah bisa melakukannya.  Mustahil.”
“Lantas, supaya kita tidak terjebak dengan pandangan yang menganggap sesuatu yang  luar biasa itu menjadi biasa, dan menetapkannya pada posisinya yang luar biasa, gimana, Stadz?”, tanyaku sambil garuk-garuk rambutku.  Kalau ketika itu aku sadar bahwa dengan berpose seperti itu malah menjadikanku lebih deket kemiripannya dengan makhluk yang bergelantungan di pohon, aku tak akan kepikiran melakukannya.  Tapi karena ketika itu keintelektualitasanku merasa tertantang, maka aku tak sadar apa yang aku lakukan. Menggaruk-garuk kepala.  Untung aja ketika itu nggak ada Paparazzi.
“Ya, itu buat antum fikirkan dalam sepekan ini.  Ini PR buat antum.”, kata sang Ustadz sambil menyeruput habis airnya.  Glek glek glek…  “Sekalian sama dalilnya.”, tambah sang Ustadz.  “Sekalian ditulis aja, ya.  Jangan lupa tulis marojinya.  Biar keliatan ilmiah.”
Wah, nih ustadz emang paling demen kalo nyuruh yang kayak ginian.  Tapi aku sangat bersyukur dipertemukan dengannya.  Memang tak selalu bisa menjawab seluruh pertanyaanku, tapi dia selalu berusaha untuk menjawabnya di kemudian hari.  Dia mencari jawabannya terlebih dahulu, setelah pada saat kutanya tak bisa itu, beliau tak sungkan untuk menjawab “Afwan, ana belum tahu.”
*****

sumber:http://tantodikdik.multiply.com/

0 komentar:

Posting Komentar

di harapkan komentar para pembaca....

syahrial_siregar@yahoo.co.id. Diberdayakan oleh Blogger.

http:syahrialsiregar.blogspot.com/

http://syahrialdankeluarga.blogspot.com/

syahrial

siregar