“Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan seperti air mengalir”
Bukit
Uhud, baru saja menyaksikan kecamuk peperangan yang sangat dahsyat.
Pertempuran besar-besaran kaum muslimin dan pasukan kafir Quraisy, baru
saja usai dana meninggalkan keheningan mencekam. Para sahabat Rasulullah
saw yang masih hidup melakukan penyisiran, memeriksa jasad pasukan
Muslim yang banyak berjatuhan. Mereka memeriksa jasad-jasad itu satu
persatu, sambil berusaha mengenali mereka. Kesediahan merambat dalam
hati kaum muslimin. Diiringi desir angina di lembah Uhud, dan sesekali
teriakan para pejuang yang terluka masih hidup, mereka mendapati banyak
para sahabat yang gugur dalam peperangan itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang membuat sebagian sahabat terkejut. “Ushairam, ini Ushairam…! Sejumlah orang berteriak terkejut melihat tubuh seorang yang mereka juluki Ushairam bergeletak bersimbah darah. Ushairam masih hidup. Tapi nafasnya tersengal-sengal. Luka di tubuhnya terlalu banyak mengeluarkan darah. Mereka terkejut, karena Ushairam tergeletak di temapat pasukan islam? Para sahabat bertanya, “Ushairam, kenapa berada disini? Apakah engakau memata-matai untuk kaummu atau karena menerima Islam?” Dengan bicara yang tersendak-senda, Ushairam berusaha menjelaskan, “Aku telah menerima Islam… aku beriman pada Allah dan Rasul-Nya… aku ambil pedangku dan aku berperang bersama Rasulullah…” belum usai menuntaskan perkataannya. Ushairam menghmbuskan nafasnya yang terakhir. Para sahabat lalu mengadukan peristiwa ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab dengan kalimat pendek yang begitu indah. “Ushairam termasuk ahli surga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hajar dalam Tamyizus Shahabah2/526)
Ushairam, adalah julukan dari Amr bin Tsabit AlAsyhali Al Anshary ra. Ia keponakan sahabat Rasulullah saw saat hijrah ke Thaif, Khudzaifah bin Yaman ra. Mungkin sangat jarang mendapati atau mendengar nama ini disebut. Tapi dia adalah satu-satunya sabhabat Rasulullah yang mendapat predikat, ‘Penghubi Surga yang belum perna melakukan shalat’.
Kisah tentang Ushairam disebutkan oleh Abu Hurairah. Bahwa sejak Rasulullah mendakwahkan Islam, Ushairam sudah kerap diajak oleh kaum Muslimin untuk menerima agama Allah swt. Tapi Ushairam selalu mengatakan, “Kalau aku tahu apa yang kalian sampaikan itu adalah kebenaran aku pasti tidak akan menunda-nunda untuk mengitu kalian.” Itu saja yang dia ucapkan.
Sampai ketika detik-detik menjelang berkorbarnya perang Uhud. Allah swt memberi hidayah keimanan yang begitu kuat dalam hatinya. Ia tiba-tiba terlecut untuk bangkit mengangkat pedang dan segera menghela kudanya menghadap Rasulullah saw. Ushairam dengan tegas mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan dirinya masuk islam. Tak lama setelah itu, Ushairam sudah bergabung bersama pasukan islam lainnya sebagai pasukan Uhud. Banyak para sahabat yang belum mengetahui status keislamannya saat itu. Dalam peperangan Uhud, tubuh Ushairam tercabik-cabik. Ia pun akhirnya tersungkur setelah puluhan tebasan pedang, tombak dan panah yang bersarang di tubuhnya.
Betapa mulia dan bahagianya Ushairam saat ini. Berada di tman-taman surga. Meski belum sempat melakukan shalat satu kalipun dalam hidupnya. Tapi secepat ia memilih jalan Allah, secepat ia menuntaskan persembahan hidupnya di jalan Allah, secepat itulah perjalanannya menuju surga.
Ushairam telah berhasil melakukan revisi besar dalam hidupnya. Dan langkah revisi yang ia lakukan itu benar-benar membuahkan hasil yang sangat di dambakan semua orang, termasuk kita. Perjalanan hidup seseorang di suatu masa, memang tak menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain. Sepotong episode hidup seseorang di suatu waktu, tak pernah menjadi ukuran bahwa ia juga akan menjadi orang yang sama dengan episode hidupnya di masa tertentu. Ushairam adalah contohnya. Langkah perubahan yang ia lakukan begitu cepat mengantarkan pada posisi mulia.
Apa yang dilakukan Ushairam adalah pelajaran besar untuk kita, bahwa kita harus mempunyai waktu untuk segera merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Maka seseorang harus memiliki target dan ukuran revisi yang sudah jelas kebenarannya. Revisi selalu membutuhkan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan merubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu kebiasaan buruk, mebuang tradisi buruk yang mungkin sudah dilakukan berulangkali dan kita merasakan kenikmatan sendiri melakukan keburukan itu.
Untuk membuang dan merevisi kebiasaan seperti itu , pasti tidak mudah. Karena seseorang harus siap menanggung kesulitan bahkan rasa sakit, untuk mengubahnya. Seperti perkataan Muhammad Natsir, “Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu tingakat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.”
Betapa banyak orang yang cenderung mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus di gerogoti usia, sampai jasadnya terus menerus dimakan waktu yang tak pernah berhenti. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi melakukan perubahan yang berarti karena renta, atau karena usianya memang sudah selesai waktunya. Betapa banyak diantara kita yang tidak peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa terencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tak memungkinkannya lagi berubah arah. Betapa banyak di antara kita, orang yang membiarkan kehidupannya berlalu dengan produktifitas kebaikan yang rendah, sementara orang-orang lain telah memiliki saham kebaikan di mana-mana. Hidupnya berlalu begitu saja. Dan berakhir begitu saja.
Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan seperti air mengalir. Hidup harus direncanakan, diarahkan dan dipelihara sedemikian rupa agar tujuan hidup benar-benar tercapai. Hidup harus pula direvisi, dibenahi, dirubah jika perlu dan memang hidup mengalami perubahan. Seperti UShairam yang mengaetahui titik revisi yang harus ia jalani. Yang secepat kilat telah mengetahui jalan yang ia pilih, lalu ia mempersembahkan dirinya untuk jalan kebaikan yang menjadi pilihannya itu. Agar hidup ini bisa seiring sejalan dengan semakin bartambahnya amal-amal shalih yang menjadi alurnya. Sampai seperti apa yang dikatakan Usman bin Affan ra, “Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf.”
Tiba-tiba terdengar teriakan yang membuat sebagian sahabat terkejut. “Ushairam, ini Ushairam…! Sejumlah orang berteriak terkejut melihat tubuh seorang yang mereka juluki Ushairam bergeletak bersimbah darah. Ushairam masih hidup. Tapi nafasnya tersengal-sengal. Luka di tubuhnya terlalu banyak mengeluarkan darah. Mereka terkejut, karena Ushairam tergeletak di temapat pasukan islam? Para sahabat bertanya, “Ushairam, kenapa berada disini? Apakah engakau memata-matai untuk kaummu atau karena menerima Islam?” Dengan bicara yang tersendak-senda, Ushairam berusaha menjelaskan, “Aku telah menerima Islam… aku beriman pada Allah dan Rasul-Nya… aku ambil pedangku dan aku berperang bersama Rasulullah…” belum usai menuntaskan perkataannya. Ushairam menghmbuskan nafasnya yang terakhir. Para sahabat lalu mengadukan peristiwa ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab dengan kalimat pendek yang begitu indah. “Ushairam termasuk ahli surga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hajar dalam Tamyizus Shahabah2/526)
Ushairam, adalah julukan dari Amr bin Tsabit AlAsyhali Al Anshary ra. Ia keponakan sahabat Rasulullah saw saat hijrah ke Thaif, Khudzaifah bin Yaman ra. Mungkin sangat jarang mendapati atau mendengar nama ini disebut. Tapi dia adalah satu-satunya sabhabat Rasulullah yang mendapat predikat, ‘Penghubi Surga yang belum perna melakukan shalat’.
Kisah tentang Ushairam disebutkan oleh Abu Hurairah. Bahwa sejak Rasulullah mendakwahkan Islam, Ushairam sudah kerap diajak oleh kaum Muslimin untuk menerima agama Allah swt. Tapi Ushairam selalu mengatakan, “Kalau aku tahu apa yang kalian sampaikan itu adalah kebenaran aku pasti tidak akan menunda-nunda untuk mengitu kalian.” Itu saja yang dia ucapkan.
Sampai ketika detik-detik menjelang berkorbarnya perang Uhud. Allah swt memberi hidayah keimanan yang begitu kuat dalam hatinya. Ia tiba-tiba terlecut untuk bangkit mengangkat pedang dan segera menghela kudanya menghadap Rasulullah saw. Ushairam dengan tegas mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan dirinya masuk islam. Tak lama setelah itu, Ushairam sudah bergabung bersama pasukan islam lainnya sebagai pasukan Uhud. Banyak para sahabat yang belum mengetahui status keislamannya saat itu. Dalam peperangan Uhud, tubuh Ushairam tercabik-cabik. Ia pun akhirnya tersungkur setelah puluhan tebasan pedang, tombak dan panah yang bersarang di tubuhnya.
Betapa mulia dan bahagianya Ushairam saat ini. Berada di tman-taman surga. Meski belum sempat melakukan shalat satu kalipun dalam hidupnya. Tapi secepat ia memilih jalan Allah, secepat ia menuntaskan persembahan hidupnya di jalan Allah, secepat itulah perjalanannya menuju surga.
Ushairam telah berhasil melakukan revisi besar dalam hidupnya. Dan langkah revisi yang ia lakukan itu benar-benar membuahkan hasil yang sangat di dambakan semua orang, termasuk kita. Perjalanan hidup seseorang di suatu masa, memang tak menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain. Sepotong episode hidup seseorang di suatu waktu, tak pernah menjadi ukuran bahwa ia juga akan menjadi orang yang sama dengan episode hidupnya di masa tertentu. Ushairam adalah contohnya. Langkah perubahan yang ia lakukan begitu cepat mengantarkan pada posisi mulia.
Apa yang dilakukan Ushairam adalah pelajaran besar untuk kita, bahwa kita harus mempunyai waktu untuk segera merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Maka seseorang harus memiliki target dan ukuran revisi yang sudah jelas kebenarannya. Revisi selalu membutuhkan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan merubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu kebiasaan buruk, mebuang tradisi buruk yang mungkin sudah dilakukan berulangkali dan kita merasakan kenikmatan sendiri melakukan keburukan itu.
Untuk membuang dan merevisi kebiasaan seperti itu , pasti tidak mudah. Karena seseorang harus siap menanggung kesulitan bahkan rasa sakit, untuk mengubahnya. Seperti perkataan Muhammad Natsir, “Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu tingakat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.”
Betapa banyak orang yang cenderung mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus di gerogoti usia, sampai jasadnya terus menerus dimakan waktu yang tak pernah berhenti. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi melakukan perubahan yang berarti karena renta, atau karena usianya memang sudah selesai waktunya. Betapa banyak diantara kita yang tidak peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa terencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tak memungkinkannya lagi berubah arah. Betapa banyak di antara kita, orang yang membiarkan kehidupannya berlalu dengan produktifitas kebaikan yang rendah, sementara orang-orang lain telah memiliki saham kebaikan di mana-mana. Hidupnya berlalu begitu saja. Dan berakhir begitu saja.
Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan seperti air mengalir. Hidup harus direncanakan, diarahkan dan dipelihara sedemikian rupa agar tujuan hidup benar-benar tercapai. Hidup harus pula direvisi, dibenahi, dirubah jika perlu dan memang hidup mengalami perubahan. Seperti UShairam yang mengaetahui titik revisi yang harus ia jalani. Yang secepat kilat telah mengetahui jalan yang ia pilih, lalu ia mempersembahkan dirinya untuk jalan kebaikan yang menjadi pilihannya itu. Agar hidup ini bisa seiring sejalan dengan semakin bartambahnya amal-amal shalih yang menjadi alurnya. Sampai seperti apa yang dikatakan Usman bin Affan ra, “Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf.”
SUMBER: http://myquran.org/
0 komentar:
Posting Komentar
di harapkan komentar para pembaca....