“Orangnya penyabaaaaar banget, Ustadz.”, lontar seorang ibu menjelaskan kondisi suaminya.
“Penyabar atau pendiam, Bu?”, Tanya sang Ustadz kemudian. Mendengar pertanyaan itu, sang ibu nampak sejenak terdiam. Nampaknya ia berfikir untuk kemudian ragu.
“Penyabar..”, kata sang Ibu dengan tak tegas. “Tapi memang dia pendiam, Ustadz.” Loh yang mana yang benar? Kedua-duanya kah?
Antara pendiam dan penyabar. Samakah atau berbeda? Ah, saya yakin semua sepakat dua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda. Tapi terus terang saja, dua kata ini sering kali tersamar. Bahkan terkesan sudah saru sehingga kedua hal ini seringkali diidentikkan. Orang pendiam ya orang penyabar. Hmmm…. Benarkah?
Secara naluri saya tahu bahwa penyabar dan pendiam tuh berbeda. Namun ketika saya diminta nendefinisikannya dalam kata, saya seringkali bingung. Yang saya tahu, ya orang penyabar tuh ya orang pendiam. Pendiam tuh ya identik dengan penyabar. Tapi ternyata tidak begitu adanya. Diam malah seringkali terarti memendam rasa alih-alih bermakna sabar. Dipendam dipendam dipendam untuk kemudian suatu saat pendaman itu akan termuntahkan bahkan oleh sekecil apa pun pemantik. Bagai letusan gunung teramat berapi. Sekali meledak, merusak semua dengan sangat dahsyat. Hmmm…. Seperti inikah sabar?
Saya seringkali berfikir akan dua hal ini. Dalam kondisi tertentu, saya (kata orang lain) termasuk orang yang pendiam. Setiap cemooh, sindir atau perilaku apa pun yang ditujukan kepada saya seringkali saya tanggapi dengan tersenyum saja. Diam. Sabaaaaar…bisik saya dalam hati. Ya, bisik hati boleh saja berkata untuk sabar pada diri. Tapi, rasa kesal itu , sedikit atau banyak sukses bercokol dalam hati saya. “Laa taghdob ya akhi. Laa taghdob! Jangan marah!”. Namun seringkali kesal itu jadi tabungan invesatasi saya untuk jangka waktu yang lama. Duh duh duuuh… Kalau sudah begini, saya makin yakin diam ini bukanlah sebuah kesabaran.
Penyabar. Bagaimana cara menujunya? Hmm.. Di sini, saya ingin mencoba untuk menuturkan pendapat-pendapat yang sempat berseliweran dalam benak saya. Ini sekedar hal-hal yang sempat terfikir dalam benak saya. Untuk jadi penyabar, mesti punya bekal :
- pemahaman akan objek yang disabari. Entah itu prosesnya, atau pun hasilnya. Misalkan jika seorang anak dimarahi orang tua, untuk bersikap sabar sang anak mesti punya pemahaman akan kemarahan orang tua itu. Entah itu penyebab atau karakter orang tua yang memang seperti itu.
- terus menggaungkan keutamaan bersabar. Innallooha ma’ashshoobirin. Sesungguhnya Alloh swt sentiasa bersama dengan orang-orang yang sabar.
- untuk bisa sabar, seringkali kita mesti mengalami dulu menjadi objek yang mesti disabari. Kalau sudah mengalami, biasanya bisa jauh lebih mudah untuk memahami. Tapi alangkah jauh lebih baik jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Tak mesti mengalami. Tapi bagi saya, kalau tak mengalami seringkali susah memahami. Walau pun tak selalu begitu.
- teruslah belajar untuk berprasangka baik. Tabunglah terus hal-hal untuk bisa berhusnuzhon terhadap objek yang kita sabari. ini paling manjur untuk bisa bersabar walau pun kita tak memahami. Hmmm....
Wallohu a’lam
*****
keterangan gambar :
TDA sedang ngajak berantem. "SINI LO!!!"
beuh.... tampan
sumber: http://tantodikdik.multiply.com/
0 komentar:
Posting Komentar
di harapkan komentar para pembaca....